Pendidikan merupakan bagian
dari kegiatan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Oleh sebab itu kegiatan
pendidikan merupakan suatu perwujudan dari cita-cita suatu bangsa. Dengan
demikian kegiatan pendidikan nasional perlu diorganisasikan dan dikelola secara
baik dan berpareatif agar pendidikan nasional sebagai suatu organisasi dapat
menjadi sarana untuk mewujudkan cita-cita nasional. Secara spesifik cita-cita
pendidikan nasional telah dituangkan dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun
2003, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuha yang
maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kemudian perinsip
penyelenggaraan pedidikan secara jelas juga telah dipaparkan dalam
Undang-Undang Sisdiknas tersebut, yaitu tercantum dalam pasal 4, bahwa: (1)
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta idak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai
satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna, (3)
Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu prosespembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, (4) Pendidikan diselenggaraka
dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas
peserta didik dalam proses pembelajaran, (5) Pendidikan diselenggarakan dengan
mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga
masyarakat, (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
layanan pendidikan.
Adapun fungsi pendidikan
nasional sebagaiman tercantum dalam Bab II pasal 3 disebutkan bahwa fungsi
pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain
itu fungsi pendidikan juga dapat dilihat dalam dua perspektif. Pertama,
secara mikro, pendidikan berfungsi untuk membantu secara sadar perkembangan
jasmani dan rohani peserta didik. Kedua, secara makro, pendidikan
berfungsi sebagai pengembangan pribadi, pengembangan warga negara, pengembagan
kebudayaan dan pengembangan bangsa.
Sebagaimana telah
dijelaskan bahwa pendidikan merupakan bagian yang sangat penting bagi sebuah
negara dalam membantu secara sadar dalam meningkatkan perkembangan jasmani dan
rohani para pelajar serta berfungsi sebagai pengembangan pribadi, pengembangan
warga negara, pengembagan kebudayaan dan pengembangan suatu bangsa. Selain itu
pendidikan memiliki komponen yang sangat penting dalam perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi suatu pendidikan yaitu kurikulum. Menurut Nasution kurikulum adalah
suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar dibawah
bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staff
pengajarnya.[1]
Kurikulum juga diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi dibawah
pengawasan sekolah, jadi selain kegiatan kulikuler yang formal juga kegiatan
yang tidak formal. Nana Sudjana berpendapat bahwa kurikulum adalah program dan
pengalaman belajar serta hasil-hasil belajar yang diharapkan yang
diformulasikan melalui pengetahuan dan kegiatan-kegiatan yang tersusun secara
sistematis, di berikan kepada siswa dibawah tanggung jawab sekolah untuk
membantu pertumbuhan atau perkembangan pribadi dan kompetensi sosial anak
didik.[2]
Maka baik pendidikan maupun kurikulum merupakan bagian yang sangat penting
dalam mencapai cita-cita nasional dan tujuan pendidikan nasional.
Bila dilihat dari paparan
tentang tujuan, prinsip penyelenggaraan maupun fungsi pendidikan sebagaimana
yang tercantum dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 sebenarnya telah
memberikan ruang gerak yang sangat representative untuk terselenggaranya
pendidikan nasional yang sesuai dengan latar belakang budaya dan kebhinekaan
bangsa Indonesia. Akan tetapi keberadaan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan
dari pengaruh bangsa lain. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh John Naisbitt
dalam Megatrens 2000 dan Alvin Toffler dalam Powershift bahwa dunia saat ini
terasa semakin sempit. Dunia merupakan suatu kampung besar (Global Village).
Dewasa ini kini kita tengah berada dalam era globalisasi dimana kita tidak
dapat melepaskan diri dari kehidupan global. Gelombang demokrasi semakin
terbuka yang berdampak tidak saja membawa nilai-nilai positif dalam pengertian
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) dan eksistensi kelompok
masyarakat, tetapi juga mengandung bahaya perpecahan suatu Negara. Samuel P.
Huntington telah meramalkan bahwa akan terjadinya benturan antar peradaban.
Benturan itu bisa disebabkan oleh faktor politik, sosial, budaya, ekonomi, ras,
bahkan agama.[3]
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan dari
Negara Indonesia yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu jua. Hal ini sangat jelas menandakan bahwa Indonesia
merupakan negara yang memiliki keragaman budaya, suku bangsa, agama, bahasa,
dan sebagainya. Kelompok-kolompok budaya seperti Sunda, Aceh, Batak, Minangkabau, Dayak, Jawa, Bugis,
Ambon, Papua dan masih banyak lagi adalah contoh dari keragaman tersebut. Oleh sebab itu pula, Negara
Indonesia disebut sebagai negara multikultural.
Berdasarkan
semboyan negara yang menjunjung tinggi keberagaman, maka sudah tentu hal ini
menjadi salahsatu nilai unggul dari Indonesia dengan memiliki keragaman suku,
Bahasa, ras, agama dan lain sebagainya. Dari aspek pendidikannya, pendidikan di
Indonesia pun selalu mengajarkan tentang tenggang rasa, toleransi dan saling
menghargai satu sama lain. Artinya Indonesia merupakan negara yang sangat
menjunjung tinggi dan melestarikan keragaman yang dimiliki, meski memiliki
keragaman suku, bahasa, ras, agama, dan lain sebagainya namun tetap bisa rukun
dan hidup bertetangga, begitulah yang semestinya terjadi di Indonesia. Akan
tetapi faktanya keragaman ini diakui
telah memunculkan beberapa persoalan di Indonesia, misalnya perkelahian antar suku, separatisme, dan hilangnya rasa
kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain. Belum lagi yang hari
ini masih marak terjadi adalah tauran antar pelajar yang terjadi hanya karena
berbeda sekolah. Hal ini jelas merupakan suatu masalah yang tidak bisa dibiarkan
begitu saja. Apakah selogan bhineka tunggal ika kini sudah tidak di junjung
tinggi lagi oleh masyarakat Indonesia, atau kesalahan system dan pelaksanaan pendidikan
dalam mendidik dan mengajarakan masyarakatnya mengenai keberagaman yang
dimiliki.
Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an surat
Al-Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal. (QS. al-Hujurat: 13).
Ayat ini menegaskan bahwa
Allah menciptakan manusia dari asal yang sama, kemudian dijadikan dalam
kelompok syu’ub dan qabail. Seluruh manusia setara dalam
kemuliaan sebagai keturunan Adam dan Hawa yang tercipta dari tanah. Mereka
menjadi lebih mulia daripada yang lain hanya berdasar tingkat keberagamaannya.
Yakni sebatas mana ketaatan mereka kepada Allah dan rasul-Nya.[4]
Sedangkan tujuan penciptaan semacam itu ialah agar masing-masing saling
kenal-mengenal. Menurut Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah al-Sa’di [w. 1376
H.] fungsi ta’aruf dalam konteks ayat ini ialah untuk menumbuhkan semangat
saling tolong-menolong, saling mewarisi, dan menjaga hak-hak kerabat. Hal itu
hanya dapat terwujud jika terdapat perbedaan identitas primordial dan kondisi
saling mengenal satu sama lain.[5] Ibnu Katsir [w. 774 H.] menambahkan bahwa
perbedaan identitas primordial tidak boleh dijadikan dasar persaingan yang
tidak sehat, seperti sikap saling menjatuhkan, menghujat dan
bersombong-sombongan [al-Tafakhur].[6]
Maka dari itu, untuk memecahkan masalah tersebut di atas, maka dibutuhkan suatu solusi, salah satunya
adalah model pendidikan yang bersifat multikultural, karena pendidikan dipandang sebagai salah satu
aspek yang memiliki peranan pokok dalam membentuk generasi di masa depan. Pendidikan
pula dapat didefinisikan sebagai upaya memanusiakan manusia agar menjadi manusia
yang paripurna Insan Kamil[7]. Dalam Islam pendidikan dipandang sebagai suatu proses berupa bimbingan dan
pembinaan yang diberikan kepada anak didik agar ia memiliki kepribadian muslim.
Oleh karena itu, pendidikan merupakan sebuah proses usaha melestarikan,
mengalihkan, serta menstransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala
aspek dan jenisnya kepada generasi penerus. Sebagaimana telah tercantum dalam
undang-undang sisdiknas bahwa Pendidikan merupakan suatu upaya sadar dan
terencana dalam mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengembangan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[8]
Dalam pelaksanaannya pendidikan dapat
juga difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia
kearah yang optimal dalam kemampuannya untuk memperoleh kesejahteraan hidup di
dunia dan kebahagiaan hidupnya di akhirat.[9]
Dengan mempertimbangkan
hal-hal tersebut, maka kegiatan pendidikan di Indonesia dituntut untuk memiliki
sikap yang peka dalam menghadapi arus perputaran globalisasi. Pola pendidikan
dan pelaksanaan pembelajaran yang dilasanakan sejak dulu hingga kini perlu
dievaluasi dan dikaji kembali, karena telah berimplikasi negatif bagi
rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Sehingga hari ini masih
sering kita melihat dan mendengar maupun membaca dalam media masa, kita
menjumpai adanya fenomena perpecahan di tengah masyarakat, baik berupa
kerusuhan, tawuran antar pelajar, antar rukun tetangga (RT), antar suku sampai
keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI hingga saat ini masih sangat sering
mewarnai media nasional baik cetak maupun elektronik. Gelombang demokrasi
menuntut pengakuan terhadap suatu perbedaan dalam tubuh bangsa Indonesia yang
majemuk. Berikut merupakan data konflik sosial yang terjadi beberapa tahun
terakhir;[10][11]
Tabel
1 Data Konflik Sosial di Indonesia
Selain data konflik yang
dirangkum dalam table tersebut di atas, beberapa kejadian konflik sosial dalam
lima tahun terakhir juga marak terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia,
beberapa konflik sosial seperti perkelahian antar desa yang terjadi di desa
Wulublolong dan desa Lohayong II Kec. Solor Timur Kab. Flores Timur Prov. NTT pada tahun 2013 yang disebabkan oleh rebutan
material dibatas desa yang diklaim oleh kedua warga desa sebagai pemilik dan
menyebabkan tiga orang korban meninggal dunia, dan tujuh orang luka-luka, dan
ada 136 rumah yang terbakar habis. Selain itu unjuk rasa masyarakat tentang
kebebasan beribadah yang membuktikan betapa konflik yang terjadi dari perbedaan
yang ada pun masih marak terjadi, hingga perang antar suku dan tawuran antar
pelajar/mahasiswa yang masih sering terjadi. Hal ini sangat
jelas menunjukan betapa masih seringnya konflik sosial masyarakat Indonesia
terjadi setiap tahunnya yang disebabkan oleh perbedaan dan keragaman yang
Indonesia miliki baik budaya,
suku bangsa, agama, bahasa, dan sebagainya.
Oleh karena itu membangun
rasa persatuan dan kesatuan serta rasa nasionalisme sekaligus menjawab beberapa
problematika kemajemukan seperti yang telah digambarkan diatas dibutuhkan
langkah sistematis yang dapat dijadikan sebagai sebuah gerakan nasional. Salah satu
gerakan tersebut yakni dengan pengimplementasian pendidikan multikultural dalam
praksis di Indonesia yang diterapkan dalam sikap pelaksanaan pembelajaran
disekolah.
[1] Nasution. S. Kurikulum
dan Pengajaran. Bandung: Bumi Aksara. 2008. Hal. 5.
[2] Nana Sudjana. Pembinaan
dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru. 2005. 4.
[3] Samuel P. Huntington. The Calsh of Civilization, New York,
London, Toronto, Sydney: Simon & Schuster Paperbacks. 1996.
[4] Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsir
al-Quran al-Azhim, (Maktabah Syamilah), juz 7, hlm. 385.
[5] Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah al-Sa’di, Taisir al-Karim
al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, (Maktabah Syamilah), hlm. 801.
[6] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim, (Maktabah Syamilah),
juz 7, hlm. 385.
[7] Driyarkara, Driyarkara Tentang Pendidikan, Yayasan Kanisius:
Yogyakarta, 1950, 74.
[8] Pasal 1 Ayat 1, Undang-undang SISDIKNAS. Nomor 20 Tahun 2003.
[10] In
Indonesia, Database Tracking Violence Provides Insights on Preventing Conflict. http://asiafoundation.org/in-asia/2015/01/14/in-indonesia-database-tracking-violence-provides-insights-on-preventing-conflict/. (Diakses 20 April 2016).
[11] http://data.go.id/dataset/data-konflik-sosial-2.
(Diakses 20 April 2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar