Senin, 15 Agustus 2016

SIKAP MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA



Pendidikan merupakan bagian dari kegiatan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Oleh sebab itu kegiatan pendidikan merupakan suatu perwujudan dari cita-cita suatu bangsa. Dengan demikian kegiatan pendidikan nasional perlu diorganisasikan dan dikelola secara baik dan berpareatif agar pendidikan nasional sebagai suatu organisasi dapat menjadi sarana untuk mewujudkan cita-cita nasional. Secara spesifik cita-cita pendidikan nasional telah dituangkan dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuha yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kemudian perinsip penyelenggaraan pedidikan secara jelas juga telah dipaparkan dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut, yaitu tercantum dalam pasal 4, bahwa: (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta idak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna, (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu prosespembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, (4) Pendidikan diselenggaraka dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran, (5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat, (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Adapun fungsi pendidikan nasional sebagaiman tercantum dalam Bab II pasal 3 disebutkan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu fungsi pendidikan juga dapat dilihat dalam dua perspektif. Pertama, secara mikro, pendidikan berfungsi untuk membantu secara sadar perkembangan jasmani dan rohani peserta didik. Kedua, secara makro, pendidikan berfungsi sebagai pengembangan pribadi, pengembangan warga negara, pengembagan kebudayaan dan pengembangan bangsa.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pendidikan merupakan bagian yang sangat penting bagi sebuah negara dalam membantu secara sadar dalam meningkatkan perkembangan jasmani dan rohani para pelajar serta berfungsi sebagai pengembangan pribadi, pengembangan warga negara, pengembagan kebudayaan dan pengembangan suatu bangsa. Selain itu pendidikan memiliki komponen yang sangat penting dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi suatu pendidikan yaitu kurikulum. Menurut Nasution kurikulum adalah suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar dibawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staff pengajarnya.[1] Kurikulum juga diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi dibawah pengawasan sekolah, jadi selain kegiatan kulikuler yang formal juga kegiatan yang tidak formal. Nana Sudjana berpendapat bahwa kurikulum adalah program dan pengalaman belajar serta hasil-hasil belajar yang diharapkan yang diformulasikan melalui pengetahuan dan kegiatan-kegiatan yang tersusun secara sistematis, di berikan kepada siswa dibawah tanggung jawab sekolah untuk membantu pertumbuhan atau perkembangan pribadi dan kompetensi sosial anak didik.[2] Maka baik pendidikan maupun kurikulum merupakan bagian yang sangat penting dalam mencapai cita-cita nasional dan tujuan pendidikan nasional.
Bila dilihat dari paparan tentang tujuan, prinsip penyelenggaraan maupun fungsi pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 sebenarnya telah memberikan ruang gerak yang sangat representative untuk terselenggaranya pendidikan nasional yang sesuai dengan latar belakang budaya dan kebhinekaan bangsa Indonesia. Akan tetapi keberadaan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari pengaruh bangsa lain. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh John Naisbitt dalam Megatrens 2000 dan Alvin Toffler dalam Powershift bahwa dunia saat ini terasa semakin sempit. Dunia merupakan suatu kampung besar (Global Village). Dewasa ini kini kita tengah berada dalam era globalisasi dimana kita tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan global. Gelombang demokrasi semakin terbuka yang berdampak tidak saja membawa nilai-nilai positif dalam pengertian penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) dan eksistensi kelompok masyarakat, tetapi juga mengandung bahaya perpecahan suatu Negara. Samuel P. Huntington telah meramalkan bahwa akan terjadinya benturan antar peradaban. Benturan itu bisa disebabkan oleh faktor politik, sosial, budaya, ekonomi, ras, bahkan agama.[3] 
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan dari Negara Indonesia yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu jua. Hal ini sangat jelas menandakan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman budaya, suku bangsa, agama, bahasa, dan sebagainya. Kelompok-kolompok budaya seperti Sunda, Aceh, Batak, Minangkabau, Dayak, Jawa, Bugis, Ambon, Papua dan masih banyak lagi adalah contoh dari keragaman tersebut. Oleh sebab itu pula, Negara Indonesia disebut sebagai negara multikultural.
Berdasarkan semboyan negara yang menjunjung tinggi keberagaman, maka sudah tentu hal ini menjadi salahsatu nilai unggul dari Indonesia dengan memiliki keragaman suku, Bahasa, ras, agama dan lain sebagainya. Dari aspek pendidikannya, pendidikan di Indonesia pun selalu mengajarkan tentang tenggang rasa, toleransi dan saling menghargai satu sama lain. Artinya Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi dan melestarikan keragaman yang dimiliki, meski memiliki keragaman suku, bahasa, ras, agama, dan lain sebagainya namun tetap bisa rukun dan hidup bertetangga, begitulah yang semestinya terjadi di Indonesia. Akan tetapi faktanya keragaman ini diakui telah memunculkan beberapa persoalan di Indonesia, misalnya perkelahian antar suku, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain. Belum lagi yang hari ini masih marak terjadi adalah tauran antar pelajar yang terjadi hanya karena berbeda sekolah. Hal ini jelas merupakan suatu masalah yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Apakah selogan bhineka tunggal ika kini sudah tidak di junjung tinggi lagi oleh masyarakat Indonesia, atau kesalahan system dan pelaksanaan pendidikan dalam mendidik dan mengajarakan masyarakatnya mengenai keberagaman yang dimiliki.
Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. al-Hujurat: 13).
Ayat ini menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari asal yang sama, kemudian dijadikan dalam kelompok syu’ub dan qabail. Seluruh manusia setara dalam kemuliaan sebagai keturunan Adam dan Hawa yang tercipta dari tanah. Mereka menjadi lebih mulia daripada yang lain hanya berdasar tingkat keberagamaannya. Yakni sebatas mana ketaatan mereka kepada Allah dan rasul-Nya.[4] Sedangkan tujuan penciptaan semacam itu ialah agar masing-masing saling kenal-mengenal. Menurut Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah al-Sa’di [w. 1376 H.] fungsi ta’aruf dalam konteks ayat ini ialah untuk menumbuhkan semangat saling tolong-menolong, saling mewarisi, dan menjaga hak-hak kerabat. Hal itu hanya dapat terwujud jika terdapat perbedaan identitas primordial dan kondisi saling mengenal satu sama lain.[5]  Ibnu Katsir [w. 774 H.] menambahkan bahwa perbedaan identitas primordial tidak boleh dijadikan dasar persaingan yang tidak sehat, seperti sikap saling menjatuhkan, menghujat dan bersombong-sombongan [al-Tafakhur].[6]  
Maka dari itu, untuk memecahkan masalah tersebut di atas, maka dibutuhkan suatu solusi, salah satunya adalah model pendidikan yang bersifat multikultural, karena pendidikan dipandang sebagai salah satu aspek yang memiliki peranan pokok dalam membentuk generasi di masa depan. Pendidikan pula dapat didefinisikan sebagai upaya memanusiakan manusia agar menjadi manusia yang paripurna Insan Kamil[7]. Dalam Islam pendidikan dipandang sebagai suatu proses berupa bimbingan dan pembinaan yang diberikan kepada anak didik agar ia memiliki kepribadian muslim. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sebuah proses usaha melestarikan, mengalihkan, serta menstransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus. Sebagaimana telah tercantum dalam undang-undang sisdiknas bahwa Pendidikan merupakan suatu upaya sadar dan terencana dalam mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengembangan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[8]  Dalam pelaksanaannya pendidikan dapat juga difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia kearah yang optimal dalam kemampuannya untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidupnya di akhirat.[9]
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka kegiatan pendidikan di Indonesia dituntut untuk memiliki sikap yang peka dalam menghadapi arus perputaran globalisasi. Pola pendidikan dan pelaksanaan pembelajaran yang dilasanakan sejak dulu hingga kini perlu dievaluasi dan dikaji kembali, karena telah berimplikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Sehingga hari ini masih sering kita melihat dan mendengar maupun membaca dalam media masa, kita menjumpai adanya fenomena perpecahan di tengah masyarakat, baik berupa kerusuhan, tawuran antar pelajar, antar rukun tetangga (RT), antar suku sampai keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI hingga saat ini masih sangat sering mewarnai media nasional baik cetak maupun elektronik. Gelombang demokrasi menuntut pengakuan terhadap suatu perbedaan dalam tubuh bangsa Indonesia yang majemuk. Berikut merupakan data konflik sosial yang terjadi beberapa tahun terakhir;[10][11]
 

Tabel 1 Data Konflik Sosial di Indonesia
Selain data konflik yang dirangkum dalam table tersebut di atas, beberapa kejadian konflik sosial dalam lima tahun terakhir juga marak terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia, beberapa konflik sosial seperti perkelahian antar desa yang terjadi di desa Wulublolong dan desa Lohayong II Kec. Solor Timur Kab. Flores Timur Prov. NTT pada tahun 2013 yang disebabkan oleh rebutan material dibatas desa yang diklaim oleh kedua warga desa sebagai pemilik dan menyebabkan tiga orang korban meninggal dunia, dan tujuh orang luka-luka, dan ada 136 rumah yang terbakar habis. Selain itu unjuk rasa masyarakat tentang kebebasan beribadah yang membuktikan betapa konflik yang terjadi dari perbedaan yang ada pun masih marak terjadi, hingga perang antar suku dan tawuran antar pelajar/mahasiswa yang masih sering terjadi. Hal ini sangat jelas menunjukan betapa masih seringnya konflik sosial masyarakat Indonesia terjadi setiap tahunnya yang disebabkan oleh perbedaan dan keragaman yang Indonesia miliki baik budaya, suku bangsa, agama, bahasa, dan sebagainya.
Oleh karena itu membangun rasa persatuan dan kesatuan serta rasa nasionalisme sekaligus menjawab beberapa problematika kemajemukan seperti yang telah digambarkan diatas dibutuhkan langkah sistematis yang dapat dijadikan sebagai sebuah gerakan nasional. Salah satu gerakan tersebut yakni dengan pengimplementasian pendidikan multikultural dalam praksis di Indonesia yang diterapkan dalam sikap pelaksanaan pembelajaran disekolah.


[1] Nasution. S. Kurikulum dan Pengajaran. Bandung: Bumi Aksara. 2008. Hal. 5.
[2] Nana Sudjana. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru. 2005. 4.
[3] Samuel P. Huntington. The Calsh of Civilization, New York, London, Toronto, Sydney: Simon & Schuster Paperbacks. 1996.
[4] Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-Azhim, (Maktabah Syamilah), juz 7, hlm. 385.
[5] Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah al-Sa’di, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, (Maktabah Syamilah), hlm.  801.
[6] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim, (Maktabah Syamilah), juz 7, hlm. 385.
[7] Driyarkara, Driyarkara Tentang Pendidikan, Yayasan Kanisius: Yogyakarta, 1950, 74.
[8] Pasal 1 Ayat 1, Undang-undang  SISDIKNAS. Nomor 20 Tahun 2003.
                [9]  M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam. Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner Jakarta: PT. Bumi Askara. 1991 : 8
[10] In Indonesia, Database Tracking Violence Provides Insights on Preventing Conflict. http://asiafoundation.org/in-asia/2015/01/14/in-indonesia-database-tracking-violence-provides-insights-on-preventing-conflict/. (Diakses 20 April 2016).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar